Senin, 15 Maret 2010

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejarawan adalah orang yang menulis peristiwa-peristiwa masa silam melalui berbagai fakta yang ada. Tanpa fakta mustahil seorang sejarawan dapat merekonstruksi sejarah yang telah terjadi. Posisi fakta adalah sangat penting, fakta inilah yang kemudian membedakan seorang sejarawan dengan seorang sastrawan. Seorang sastrawan menulis sebuah karya sastra tidak menekankan pada fakta, dia bisa membuat itu lewat daya imajinasi yang ia miliki, namun seorang sejarawan harus tertuju pada fakta-fakta yang ada, disamping untuk lebih menarik tulisan sejarahnya digunakan pula fiksi dan imajinasi.

Fakta-fakta sejarah adalah bagaikan kepingan-kepingan suatu botol yang pecah. Pecahan-pecahan itu berserakan dimana-mana. Oleh sejarawan kepingan-kepingan (fakta) itu dikumpulkan satu persatu lantas kemudian disusun kembali menjadi bentuk aslinya. Dalam penyusunan kepingan (fakta) tersebut, sejarawan tuangkan dalam bentuk tulisan atau cerita yang sering disebut dengan historiografi (penulisan sejarah).

Sejarah Indonesia dibangun dari fakta-fakta yang ada dan direkonstruksi oleh para sejarawan Indonesia dan sejarawan asing. Proses rekonstruksi sejarah sendiri memiliki perbedaan dari hari kehari, entah itu dari segi metodenya, keobyektifitasnnya, motivasinya, dsb. Historiografi Indonesia dari masa dulu telah mengalami perkembangan. Bermula dari historiografi tradisional, historiografi kolonial, historiografi revolusi dan yang terakhir berkembang adalah historiografi modern.

Setiap perkembangan historiografi memiliki karakteristik, metode, dan motivasi penulisan yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Situasi dan kondisi politik sangat berpengaruh pada penulisan sejarah. Semisal, pada masa tradisional, dimana untuk melegitimasi kedudukan seorang raja, maka raja tersebut berusaha untuk menulis sejarah keluarganya yang berasal dari seorang raja yang besar. Masa kolonial, masa ini penulisan sejarah bermaksud sebagai bahan laporan perjalanannya di tanah jajahan, jadi yang dituliskan hanyalah orang-orang barat di tanah jajahan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Historigrafi Kolonial ?

2. Bagaimana ciri-ciri Historiografi Kolonial ?

3. Bagaimana isi buku Pemberontakan Cirebon Tahun 1818, Historiografi Hindia Belanda, Beberapa Catatan Tentang Penyelidikan Sejarah Indonesia dan Mahan di Meja Baca Hindia ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mendeskripsikan Pengertian Historiografi Kolonial.

2. Untuk mendeskripsikan ciri-ciri Historiografi Kolonial.

3. Untuk mendeskripsikan isi buku Pemberontakan Cirebon Tahun 1818, Historiografi Hindia Belanda, Beberapa Catatan Tentang Penyelidikan Sejarah Indonesia dan Mahan di Meja Baca Hindia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Historiografi Kolonial

Historiografi kolonial merupakan suatu penulisan yang masa penulisannya adalah pada masa kolonialisme Belanda di Indonesia, Penulisan sejarah semacam ini memusatkan perhatiannya kepada Belanda sebagai tempat perjalanan baik pelayaran maupun pemukiman di benua lain. Historiografi semacam ini di tulis oleh penulis-penulis orang asing di dunia timur. Mereka kebanyakan tidak memiliki verifikasi kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena tulisan semacam ini banyak kekurangannya.

Sumber-sumber historiografi kolonial berasal dari dokumen-dokumen VOC, Geewoon Archief dan Gehem Achief, Wilde Vaart; catatan pelayaran orang orang Belanda di perairan, Koloniale Verslagen laporan tahunan pemerintah Belanda.

Penggunaan faham seperti ini dan sumber-sumber seperti ini mempersempit pandangan internasional terhadap Indonesia, jika di pakai sumber sejarah kekurangannya terletak pada;

  1. Mengabaikan banyak peristiwa peristiwa dari aktivitas bangsa Indonesia
  2. Terlalu sempit dan kurang lengkap
  3. Terlalu berat sebelah

Untuk menghadapi karya semacam ini dapat menulis menggunakan dan memperhatikan langkah langkah sebagai berikut;

  1. Memperluas obyek dengan memperhatikan semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia
  2. Menggunakan pendekatan multidimensional
  3. Menggunakan konsep ilmu social sehingga memahami peristiwa peristiwa yang terjadi
  4. Menekankan mikro history subyek tidak terlalu luas tetapi dikerjakan secara mendalam
  5. Konsep yang digunakan adalah sejarah nasional
  6. Menerapkan metode sejarah analitis.

Menjelang kemerdekaan Indonesia pada masa kemerdekaan telah muncul karya karya yang berisi perlawanan terhadap pemerintah colonial yang di lakukan oleh pahlawan nasional, Secara umum tulisan ini merupakan ekspresi dan semangat nasionalistis yang berkobar kobar. Periode ini disebut sebagai periode post Revolusi atau Historiografi pada masa Pasaca Proklamasi. Tokoh tokoh nasional menjadi symbol kenasionalan dan memberi identitas bagi bangsa Indonesia, Jenis sejarah semacam ini perlu di hargai sebagai fungsi sosiopolitik, yaitu membangkitkan semangat nasional.

2.2 Ciri-ciri Historiografi Kolonial

· Bersifat Eropasentris atau Neerlandosentris

· Berdasarkan pada fakta, lebih rasional, faktual dalam penulisannya

· Subyektifitas melekat pada sejarawan kolonial, mendeskripskan pada kejadian-kejadian yang dialami orang-orang Eropa di Indonesia.

· Orang Indonesia hanya sebagai figuran

· Tidak menggunakan geneologi

· Menerangkan pada peranan bangsa Belanda dan memberi aspek politis (kekuasaan)

· Mengandung subyektifitas, tapi ditulis secara akurat dan cermat.

2.3 Historiografi Kolonial: Pemberontakan Cirebon Tahun 1818, Historiografi Hindia Belanda, Beberapa catatan tentang penyelidikan sejarah Indonesia dan Mahan di Meja baca Hindia.

PEMBERONTAKAN CIREBON TAHUN 1818

a. Penulis

Buku ini berjudul asli “De Cheribonsche Ounlsten van 1818, Naar Oorpronkelijke Stukken” yang ditulis oleh P. H Van der Kemp. Sebenarnya buku ini merupakan catatan-catatan asli dari P. H. Van Kemp yang ikut menumpas pemberontakan di Cirebon. Pada tahun 1979, buku tersebut diterjemahkan oleh B. Panjaitan dengan judul “Pemberontakan Cirebon Tahun 1818” dan diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Idayu.

b. Metode Penulisan

Deskriptif naratif, dimana pada buku yang berjudul Pemberontakan Cirebon Tahun 1818 ini, P. H. Van Der Kemp mendeskripsikan keadaan Cirebon pada masa pemberontakan tahun 1818. Dalam buku ini juga dideskripsikan sebab-sebab pemberontakan, cara mengatasi pemberontakan dan akhir dari pemberontakan tersebut.

c. Corak Penulisan

Eropasentris atau Neerlandosentris, dimana dalam buku ini berisi tentang kejadian yang terjadi Indonesia menurut sudut pandang Eropa yang berada di Indonesia. Dalam buku ini, P. H. Van der Kemp menganggap bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh golongan pribumi akan mengganggu kekuasaan Belanda di Cirebon. Oleh sebab itu, Van der Kemp menumpas pemberontakan-pemberontakan tersebut.

d. Isi Penulisan

Pemerintahan raja-raja di Cirebon dari zaman VOC (Kumpeni) menjadi sumber kemelaratan dan kekacauan. Oleh karena itu, pada tahun 1792, J. L. Umbgrove selaku residen berpendapat: “Dipandang perlu untuk mengurangi jumlah pangeran dan ratu (mereka itu tidak berperikemanusiaan dan tak dapat dipakai) dan mengubah fungsi mereka menjadi abdi masyarakat. Dengan begitu diharapkan negeri itu tidak lagi dihisap habis-habisan dan dapat memperoleh lebih banyak berkat demi kepentingan penduduknya. Dahulu ada dua orang sultan yang masing-masing mempunyai daerah yang terpisah. Tidak lama sesudah pembagian atas wilayah Kesultanan Kesepuhan dan Kanoman itu, maka pada tahun 1473 bertambah lagi satu, yaitu Kesultanan Kacirebonan. Pemerintahan Raffles yang menggantikan tangan-besi Daendels telah menghapuskan ketiga penguasa tersebut. Gelar kesultanan dan turunannya tetap diakui, para sultan juga diberi pensiun.

Keadaan para sultan yang diturunkan Raffles itu menimbulkan rasa tak puas, baik mengenai pengakuan atas gelar kerajaan maupun tentang tunjangan yang sangat terbatas bagi orang-orang keturunan sultan yang tak punya pekerjaan tapi bersikap boros. Dengan surat tanggal 2 Juni 1818 No. 44 residen menyampaikan dua pucuk surat dari Sultan Sepuh dan Sultan Anom kepada gubernur jendral yang berisi satu permohonan: “Karena mereka berkewajiban memelihara keluarga sedang pendapatan mereka tak mencukupi untuk itu, agar hidup mereka dapat kiranya diperbaiki dengan jalan menambah tunjangan pensiun yang ada sekarang ini”. Dengan surat keputusan tanggal 16 berikutnya No.4, permohonan itu dikirim kembali kepada residen dengan catatan: “agar memberitahukan dan membuat perhitungan terperinci tentang segala sesuatu yang diperlukan oleh kedua sultan tersebut, beberapa mereka terima dahulu-Sultan Anom dan Sultan Sepuh dan beberapa sekarang, disertai pertimbangan secukupnya”. Tapi sekalipun mereka telah diturunkan secara politis, namun pengaruh kebesaran mereka tak hilang dan tetap ada pada rakyat, sehingga dengan atau tanpa pengetahuan mereka, rasa tak puas menjalar terus dan secara diam-diam atau terang-terangan mengambil bentuk berupa tuntutan, agar dipulihkan kembali kedudukan mereka dan inilah yang dipakai sebagai alasan untuk mengatur timbulnya suatu pemberontakan. Tidak lama sesudah masa pemulihan (kekuasaan oleh Inggris kepada Belanda) pada akhir November dan awal Desember 1816, keadaan pun sudah mulai bergolak. Sebab-sebab pemberontakan Cirebon antara lain:

Ø Adanya hasutan dari pihak Inggris.

Ø Adanya kesewenangan pemilik tanah partikelir.

Ø Berlakunya Landrete secara sembrono.

Keadaan seperti itu diakui oleh residen pertama sesudah pemulihan, yaitu W. N. Servatius dan pembesar ini bukanlah terbaik dalam segala-galanya, tapi seperti ditulis oleh Willem Van Hongedorp kepada ayahnya tanggal 30 Juni 1826. Isinya: “Ia adalah seorang yang mempunyai pertimbangan sehat dan belum ada terdengar orang memburuk-burukkan namanya sekalipun berada di tengah-tengah pergaulan yang saling mengiri”. Tahun 1816 markas kaum perusuh memang berada di Krawang dan waktu itu membatasi gerakannya disekitar itu saja, namun dipercayai bahwa perlawanan yang sebenarnya berasal dari Cirebon dan orang Krawang yang tak berpikir panjang itu digunakan sebagai pelopornya. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi terdapat pada data (laporan) seperti dibawah ini:

Laporan dari kepala pemerintahan Priangan, bertanggal Karansambung 30 November No. 9 dan Bandung tanggaal 4 Desember No. 12, isinya: “Semuanya dalam hubungan dengan kemungkinan adanya pemberontakan di Indramayu, terutama daerah Kandanghaur, perampok atau perusuh telah membakar pondok-pondok penggaraman setelah membakar lebih dahulu garam yang terkumpul di tempat itu, pasanggrahan Losari musnah dimakan api, penduduk Tugu dan Sumber telah mempersenjatai diri, siap untuk bergabung dengan perusuh segera setelah mereka mendapat panggilan dari Kuwu mereka”. Residen mengambil langkah-langkah untuk mencegah kaum perampok menyeberangi Cimanuk dan memerintahkan kepala-kepala distrik dipingir sungai itu agar secara keras menjaga keamanan dan keselamatan di bagian keresidenannya itu. Ia meminta wewenang pemerintah untuk “mengambil tindakan luar biasa yang diperlukan menurut keadaan demi terjaminnya ketentraman”. Keputusan pemerintah yang telah disebut tentu saja memperbolehkannya dan residen diberitahu pula bahwa komandan militer Afdeeling 2 (di Semarang) telah dikuasakan untuk “memberikan bantuan yang telah diminta oleh residen”; tapi dikatakan bahwa pemerintah percaya, bantuan itu tidak akan diminta, “kecuali keadaan sudah sangat mendesak”.

Dalam suratnya tangal 4 Desember 1816 No. 35, Residen Cirebon mengatakan bahwa laporan Asisten Residen Indramayu tentang keadaan di Kandanghaur tidak begitu mencemaskan karena dalang kerusuhan yaitu Jabin bersama 20 anak buahnya telah pindah dari Laummalang ke desa Legun di sekitar Cirebon. Residen mengusulkan untuk mengamankan Jabin karena perpindahannya tersebut mencurigakan. Pemerintah menanggapi usulan tersebut dengan surat pada tanggal 8 Desember 1816 No. 41, residen diperintahkan agar jangan melakukan penahanan “jika tidak terpaksa”, namun segala sesuatu diserahkan pada kewaspadaan. Jabin harus diikuti secara seksama, diperiksa semua alasan dan sebabnya ia pindah tempat dan diusahakan agar ia kembali ketempat semula.

Pada tanggal 6 Desember, residen melaporkan bahwa kerusuhan semakin meningkat sehingga perlu dibuat pengaturan-pengaturan militer yang lebih keras dan ini menyebabkan pers Inggris (The Times) membuat ejekan-ejekan kepada kita (Belanda). Nahkoda Brantlight yang menyaksikan kejadian-kejadian itu telah membantah semua tuduhan dalam Amsterdamshe Courant, pada tanggal 8 Januari 1818.

Tanggal 19 Juni 1817, Inggris meninggalkan pulau Jawa. Pemerintah kita (Belanda) memperkeras peraturan bagi tuan-tuan partikelir untuk mencegah kesewenang-wenangan; menghadapi landrete di Cirebon. Di seluruh Hindia yang sudah kembali ke tangan kita tampak adanya ketentraman, termasuk daerah Maluku yang sudah ditakhlukkan kembali. Demikianlah nada laporan-laporan rahasia dari Indie tertanggal 8 Februari 1817 dan kemudian 23 Desember yang mengandung pendangan-pandangan baik tentang keadaan poitik pada umumnya. Karena itulah, pada tanggal 17 Januari 1818, Jendral de Kock berangkat ke Ambon dengan kapal perang Tromp-Kapten J. Nooy-dengan maksud mengambil alih pemerintahan dari perwira laut (schout bij nacht) Buyskes dan juga panglima tentara Anhing diijinkan cuti karena sakit, berangkat bersama dengan istrinya dengan kapal yang sama menuju Jepara.

Hanya beberapa hari sesudah itu, timbullah kerusuhan besar-besaran di distrik Blandong, Cirebon. Residen menganggap bahwa biang keladi kerusuhan itu adalah Jabin yang namanya diperhalus menjadi Bagus Jabin. Pada pertengahan tahun 1819, ketika gubernur jendral mengadakan perjalanan keliling Jawa dan singgah di Cirebon, telah membuat keputusan pada tanggal 23 Juli 1819 No. 12 yang isinya: “Agar residen tidak membiarkan berlalu sesuatu kesempatan untuk mengadakan pengusutan tentang sebab-sebab kerusuhan yang sudah lampau dan setelah itu membuat laporan selengkapnya”.

Akhirnya yang menjadi biang keladi kerusuhan bukanlan Jabin, namun seorang demang desa Perdagangan yang bernama Nairem (Neirem). Ia adalah pengikut Bagus Rangin yang merupakan biang keladi kerusuhan 1811 yang masih dibiarkan di Krawang, dimana ia selalu berusaha membuat kerusuhan-kerusuhan. Selain Nairem, ada juga seorang dari Distrik Semarang yang bernama Rono Diwongso.

Peta pergerakannya sebagai berikut: Jalan raya dari Bogor, yang melewati Sukabumi, Cianjur (dulunya ibu kota Priangan), Bandung, Sumedang dan terus ke timur laut menuju Tomo Karangsambung, dipinggir Cimanuk, di perbataasan Priangan-Cirebon. Ditempat itu terdapat gudang-gudang penyimpanan kopi yang penting.

Pemberontakan pada tahun 1818 muncul dalam dua tahap, yaitu pada bulan Januari sampai Februari dan blan Juli sampai Agustus. Pada tahap pertama, Nairem sudah tertangkap dan ketika itu ia ditahan tanpa ada kepastian tentang kesalahannya sebaga pemimpin dan perencana pemberontakan. Pada tahap kedua, Serrit yang menjadi kepala pemberontakan tertangkap. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa Nairem adalah terdakwa utama. Seperti tertera dalam surat keputusan gubernur jendral tanggal 12 Oktober 1818 No. 3 sehubungan dengan pemberitaan sebelumnya, tanggal 26 September No. 128, bahwa:

Ada cukup alasan untuk menetapkan tahanan yang bernama Bagus Serrit dalam bulan Februari tahun ini terang-terangan menimbulkan pemberontakan dan mengangkat dirinya sebagai kepala pemberontak.

Ia mengerahkan anak buahnya yang dipersenjatai melawan pasukan yang dikirim pemerintah ke sana untuk mengembalikan ketentraman dan bertempur dengan mereka.

Selama pemberontakan itu telah terbunuh pegawai-pegawai pemerintah atas perintahnya, menurut bukti-bukti sementara, terjadi perampokan, pembakaran yang menimbulkan kekacauan besa, tidak mengindahkan sama sekali perntah yang dikeluarkan pemerintah.

Ketika kerusuhan terjadi, nama-nama sultan juga disebutkan karena keterlibatan mereka dalam erusuhan tersebut baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya: Residen Madura dan Sumenep memberitakan dalam suratnya tanggal 3 Februari 1818 No. 90 bahwa seorang yang bernama Sominta Raja, kelahiran Cirebon, telah tiba di Sumenep dari Malaka dengan menumpang kapal yang berasal dari Bangil, melalui pulau Baviaan. Ia menyebut dirinya Pangeran Ario dan termasuk keluarga Sultan Kanoman, ia diserta wanita-wanita dan dua orang anak-anak, beserta dua orang haji, kesemuanya adalah orang Cirebon. Pangeran tersebut menunjukkan surat alan dari Inggris, bertanggal Malaka, 31 Januari 1815, sedang kedua haji itu tidak mempunyai surat-surat. Pangeran itu menerangkan bahwa semasa Daendels, ia dibuang ke Banyuwangi, tapi ditengah jalan kapal ditangkap Inggrsis dan ia dibawa ke Malaka. Arena curiga, residen menahan mereka dan ini disetujui dengan belsit pemerintah tanggal 18 Februari 1818 No. 5.

Dengan berakhirnya pemberontakan bulan Agustus 1818, Residen Cirebon dan komandan tentara telah mengirimkan pula laporan-laporan terakhir mereka mengenai jalannya peristiwa. Sebagai kelanjutannya, dinyatakanlah dalam surat keputusan pemerintah tanggal 26 September 1818 No. 27 antara lain: bahwa kepada kementrian (di Nenderland) akan dikirimkan suatu uraian tentang segala sesuatu yang telah terjadi dan ini pun dilakukan pada tanggal yang sama, dengan surat No. 143.

e. Tujuan Penulisan

      Historiografi kolonial tentunya tidak lepas dari kepentingan penguasa Kolonial dalam melanggengkan imperialismenya di Indonesia. Kepentingan itu termasuk interpretasi mereka terhadap fakta sejarah. Dalam pandangan historiografi kolonial dianggap sebagai tindakan ekstrimis, pemberontakan yang harus di tumpas karena di anggap mengganggu setabilitas pemerintahan. Sedangkan menurut sejarah nasional dianggap sebagai pejuang dan pahlawan yang bertujuan mengusir kolonial. 
 

HISTORIOGRAFI HINDIA BELANDA

F. Valentijn ( 1666- 1727 )

1. Penulis

Valentijn adalah seorang pendeta Belanda yang ikut ke Indonesia dalam rangka penyebaran agama kristen. Dia menulis tentang Compagnie dan kepulauan ini pada permulaan abad ke 18 yang berjudul “ Oud en Nieuw Oost Indiën “

2. Metodologi Penulisan

Penulisan yang dilakukan oleh Valentijn ini bersifat Deskriptif Naratif dan Deskriptif Analitif, karena dalam penulisannya menggunakan data tradisi jawa dengan penafsiran dari orang-orang Belanda.

3. Corak Penulisan

· Compagnie ( VOC Historie ), menggambarkan Hindia Belanda secara Penafsiran VOC karena pada saat itu yang menguasai Indonesia ( Jawa ) atau Hindia Belanda adalah Belanda, akan tetapi bukan Pemerintah Belanda melainkan pihak swasta Belanda.

· Javano centris, karena dalam penulisannya mempergunakan sumber-sumber Jawa seperti babad-babad Jawa.

· Neerlando centris, bahwa dalam penulisannya masih melalui penafsiran Belanda.

4. Isi Naskah

Volume I (Pengantar)

· Berisi pendahuluan dan pengantar dengan gambaran dari pengarang di sertai dengan sebuah lipatan peta umum dari India Timur, dua peta dan dua pandangan.

· Menceritakan tentang keadaan Maluku serta penguasa Maluku dan kerajaan-kerajaan seperti Ternate dan Tidore.

· Diceritakan pula kerajaan Ternate pernah berperang dengan kerajaan Tidore.

· Pemerintah kolonial Belanda pernah membangun gereja dan panti jompo.

Volume II

· Menceritakan tentang geografi Ambon dan pulau lainnya seperti pulau Seram, Honimao, Bonoa, Manipa dan juga menceritakan mengenai kebiasaan upacara adat. Penggambaran pulau-pulau ini digambarkan dengan 20 peta yang menggambarkan masyarakat dan pandangan hidup yang terdapat di ambon seperti halnya 10 ukiran yang lebih kecil dalam teks.

Volume III (Part I)

· Bercerita tentang sejarah religius dari Ambon dengan deskripsi dari kuil dan upacara agama yang ada di Ambon.

· Flora dan Fauna di Ambon seperti jenis pohon, tanaman, mamalia serta makluk hidup yang ada di dekat pulau kecil di Ambon.

Volume III (Part II)

· Berisi tentang geografi dan history yang mendetail dari pulau Banda, Makasar, Bali serta perdagangan Belanda dengan daerah-daerah itu. Deskripsi ini memuat 25 pandangan, peta, rencana dan 10 plat ilustrasi kecil dalam teks.

· Berisi tentang suatu acuan yang di tulis pada kulit kerang dan tanaman laut yang ada di dekat pulau Ambon.

Volume IV (Part I)

· Menceritakan tentang deskripsi pulau Jawa dan Batam serta Batavia dengan biografi gubernur Jenderal lain serta karyawan-karyawan VOC.

· Terdapat pula 28 peta dan rencana mengenai pandangan pembangunan, ilustrasi kuil dan para dewa yang terkandung dalam dua plat yang menunjukkan pulau Onrust dekat Batavia dan pelubuhan utama di Indonesia.

Volume IV (Part II)

· Menceritakan mengenai agama di pulau Jawa dan pertanggung jawaban hidup orang-orang Mongol dengan 11 Peta dan 19 halaman yang penuh gambar tantang Mongol, istri dan anak mereka serta 19 ilustrasi kecil dalam teks.

· Berisi deskripsi Cina dan Forosa (Taiwan) yang di gambarkan pada peta, rencana dan pandangan serta 6 ukiran dalam teks, termasuk di dalamnya pertanggung jawaban yang di buat oleh Valentuijn sendiri.

Volume V (Part I)

· Berisi deskripsi pantai di Tenggara India.

· Berisi deskripsi tentang koloni di Persia, Malaya dan Sumatra. Dicatat pula mengenai laporan geografis yang luas. Di bagian akhir mengandung laporan dari berbagai dokumen asli dengan 24 plat, peta serta 10 ilustrasi teks kecil.

Volume V (Part II)

· Deskripsi tentang Japan dan Tanjung Harapan serta catatan karyawan VOC. Catatan pertanggung jawaban di berikan lebih awal dan mendetail yang meliputi deskripsi daerah Timur dan Selatan Samudra Atlantik di sekitar Afrika Selatan dengan 19 peta, pandangan dan plat lainnya serta 10 ilustrasi teks.

· Uraian tentang Ambon dengan detail yang di terangkan oleh fakta bahwa pengarang Francois Valentijn (1666-1727) hidup di Ambon dan selama di Ambon Francois Valentijn mengabdikan dirinya sebagai menteri geraja VOC .

5. Tujuan Penulisan

Menceritakan Hindia Belanda dari sudut pandang Belanda dengan mempergunakan sumber-sumber Jawa dan data-data dari daerah lainnya yang ada di Indonesia.

(J . Hageman 1817-1872 )

a. Penulis

Hageman adalah penulis sejarah pulau Jawa ketika ia masih menjadi serdadu dan juru tulis Departemen sejak 1860 tanpa jabatan.

b. Metodologi Penulisan

Penulisan yang dilakukan oleh J Hageman ini bersifat Deskriptif analitif dan Deskriptif naratif, karena dalam penulisannya mempergunakan data yang ada di Jawa dan dengan penafsiran gaya Eropa ( Nethderland ).

c. Corak Penulisan

Ø Javano centris, karena mempergunakan data yang ada pada saat itu khususnya dari data-data pribumi dan data ini dijadikan sebagai data tambahan dalam penulisan.

Ø Neerlando centris atau eropa centris, karena dalam penulisannya tidak bisa meninggalkan gaya penulisan Nederland.

Ø Politik centris, karena menceritakan tentang pemerintahan yang dipimpin oleh Sultan Agung dan orang-orang Nederland yang menguasai jawa.

Ø Nasional centris, karena orang Belanda yang pertama berusaha menulis sejarah Nasional pulau Jawa.

d. Isi Naskah

Menceritakan tentang simpatinya ia kepada unsur-unsur Jawa. Dia berbicara tentang pemerintahan yang termashur dari Sultan Agung dari Mataram, sedangkan terehadap pahlawan-pahlawan Belanda dia bersikap lebih kritis. “ karakter Coen “ yang oleh banyak orang sangat dipuji hanya dapat dilukisakannya dengan warna yang gelap, terutama tentang masa terakhirnya “ ( hal 107-109 ). Dan tujuan utama dari penyusunan ajaran dongengan jawa dan perhitungan waktu ( kala-mangsa ) adalah untuk membuktikan bahwa Jawa dalam ilmu pengetahuan dan kesusastraannya mengandung semua ciri-ciri yang memberikan nama yang terharum kepada negara-negara asal ilmu pengetahuan , Mesir, India , Yunani , dan Roma.

e. Tujuan Penulisan

Menceritakan keadaan Indonesia pada saat itu khususnya Jawa dalam penafsiran orang-orang Eropa ( Nethderland ), yaitu tentang pemerintahan yang termashur dari Sultan Agung dari Mataram.

BEBERAPA CATATAN TENTANG PENYELIDIKAN SEJARAH INDONESIA

a. Penulis

Penulis dari buku yang berjudul “Beberapa Catatan Tentang Penyelidikan Sejarah Indonesia” atau yang dalam bahasa Belanda berjudul “Trade Of Indian” ini dikarang oleh Dr.J C Van Leur, yang kemudian diterjemahkan dari Koloniale Studien (1937) hal 651-661 oleh: M. Djoko Raswono.

b. Metodologi penulisan

Ø Metodologi penulisan yang digunakan di sini adalah Deskriptif Naratif karena didalam buku ini lebih menceritakan, bagaimana Van Leur mengadakan penyelidikan lewat catatan-catatan dari pemerintah kolonial Belanda. Karena seperti kita ketahui Belanda pernah menduduki negara Indonesia selama beratus tahun dalam rangka menerapkan kolonialisme atau penjajahan.

Ø Penggunaan kata-kata dalam penulisan buku ini masih menggunakan ejaan yang belum disempurnakan, misalnya penggunaan kata: yang → jang, jika → djika, jangan → djangan, dan lain sebagainya.

c. Corak Penulisan

Eropasentris / Nerlandosentris, yaitu bahwa buku karya Van leur ini menceritakan sejarah Indonesia menurut pandangan orang Eropa (khususnya Belanda), juga berdasarkan catatan-catatan dari orang Belanda ( bagaimana keadaan Indonesia pada waktu orang Belanda berada di Indonesia untuk menerapkan kolonialismenya ), misalnya saja pada kutipan buku hal 4 dan 5 “VOC pada abad pertama dari sejarahnya , VOC mendirikan benteng di Batavia dengan tenaga dan tekhnik Tionghoa, menyerahkan eksploitasi finansiil kepada para pemungut pajak bangsa Tionghoa ; dimana-mana di banyak tempat-tempat pelabuhan di kepulauan Indonesia VOC bardagang dengan para saudagar timur Indonesia). Di Ambon membeli cengkeh, di Jambi membeli lada dari orang Minangkabau, di tengah-tengah pemboronng kecil bangsa Tionghoa, dengan jatah tidak lebih besar dari bangsawan Jambi, serta saudagar yang datang dari tempat lain seperti : orang Jawa dan Melayu. Di Aceh dan di sepanjang pantai barat pulau Sumatra yang dikuasai oleh Aceh VOC juga dikenakan pajak oleh perang panglima. VOC memperlengkapi kapalnya dengan katrol-katrol dan tali-temali buatan Jepang, apalagi mendatangkan logam untuk keperluan persenjataan dan alat besi serta obat-obatan, bahan untuk mesiu dan keperluan kapal lainnya dari Jepang”. Dari kutipan diatas adalah menggambarkan bagaimana pada awal abad 16 (1602) Belanda di indonesia mendirikan perusahan dagang atau kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost – indische Compagnie ), yang kemudian memonopoli perdagangan di nusantara ( Indonesia ). Karena seperti kita ketahui indonesia pada masa itu kaya akan sumber daya alamnya seperti cengkeh, lada, yang hal tersebut sangat diincar oleh negara barat yang akan dijadikan sebagai barang komoditi perdagangannya. Selain dari itu kutipan di atas juga ingin menjelaskan bahwa pada masa itu kegiatan perdagangan di Indonesia sudah ada dan kontak hubungan antara timur dan barat sudah ada atau terjalin.

Politiksentris, yaitu unsur politik dalam buku ini terdapat pada hal 4 “ VOC mendirikan benteng di Batavia dan melakukan perdagangan di kepulauan di Indonesia, serta menerapkan kolonialismenya”. Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa disamping ingin melakukan perdagangan Belanda juga ingin menguasai Indonesia dan mengeruk segala hasil buminya yang sangat bermanfaat bagi kepentingan Belanda, belanda juga semakin menunjukkan eksistensinya di Indonesia dengan mendirikan benteng di Batavia, hal tersebut dilakukan adalah untuk memperkokoh posisi Belanda di Indonesia.

d. Isi penulisan

Didalam buku yang berjudul “Beberapa Catatan tentang sejarah Indonesia” ini Van Leur ingin memaparkan sejarah Indonesia melalui sumber-sumber dari Belanda misalnya lewat catatan dari VOC. Van Leur ingin menjelaskan bagaimana keadaan Indonesia pada sekitar abad ke 16. Dimana pada saat itu Belanda datang dan mendirikan usaha atau kongsi dagang yang disebut juga dengan VOC (Vereenigde Oost- Indische Compagnie), dikisahkan di situ bagaimana keadaan Indonesia yang berlimpah sumber daya alamnya, dan juga terdapatnya barang komoditi perdagangan seperti lada dan cengkeh yang banyak ditemukan di kawasan Indonesia, yang kemudian belanda masuk dan memonopolinya atau berusaha untuk menguasainya. Kemudian di paparkan pula hubungan perdagangan di Indonesia seperti pada kutipan buku hal 5, bahwa Indonesia seperti wilayah Ambon, Jambi, kawasan Jawa, dan lainnya sudah mulai hubungan kotak dagang dengan bangsa barat. Dalam buku ini juga di paparkan bagaimana kekuatan Belanda di Indonesia sehingga dengan mudah dapat memonopoli atau menguasai perdagangan serta berhasil menguasai kekayaan alam Indonesia yang sangat penting guna keperluan perdagangan. Seperti dalam kutipan hal 4 dan 5 “bahwa Belanda telah mendirikan benteng pertahanan di Batavia dan kemudian angkatan perangnya dengan kapalnya yang di lengkapi dengan keperluan kapal yang menunjang seperti katrol, tali temali dan persenjataan yang lengkap yang terdapat dalam kapal tersebut”. Dalam buku ini juga disinggung tentang bagaimana keadaan angkatan perang di Indonesia pada waktu atau zaman tersebut. Seperti pada kutipan halaman 5 “angkatan perang Jawa ternyata memiliki tata tertib serta ketangkasan gerak militer secara teratur, maupun pengetahuan teknik untuk membuat alat-alat perang, teknik pengepungan serta perbentengan”.

e. Tujuan Penulisan

Tujuan akhir dari penulisan buku karya Van Leur yang berjudul “Beberapa Catatan tentang Sejarah Indonesia “ adalah bahwa sejarah kolonial juga dapat membantu dan dapat memberikan pengetahuan tentang dunia timur atau sejarah Indonesia. Bagaimana kita sekarang ini dapat mengetahui serta memahami sejarah Indonesia, dapat kita lakukan dengan mempelajari catatan atau peristiwa pada waktu itu, misal dengan mempelajari lewat catatan VOC yang merupakan catatan mengenai bagaimana pendudukan Belanda di Indonesia atau masa kolonialisme di Indonesia.

MAHAN DI MEJA BACA HINDIA

a. Penulis

Penulis dari buku yang berjudul “Mahan di Meja Baca Hindia”ini adalah J.C Van Leur, yang kemudian diterjemahkan dengan pengawasan dewan redaksi oleh Kartini Abu Bakar dengan kata pengantar oleh Drs.A.B Lapian , Baratha jakarta 1974. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan judul “Mahan Op den Indischen lessenaar”, diterbitkan oleh Koloniaal Tijdchrift (1914) hal 576- 586.

b. Metodologi Penulisan

Metodologi penulisan bukku ini adalah Deskriptif Non Naratif karena dalam penulisan buku ini, J.C Van Leur ingin menceritakan atau mendeskripsikan sejarah pendudukan kumpeni Belanda di Indonesia lewat wawasan maritim atau teori dari seorang pemikir bangsa Eropa abad XV yang berhasil menyusun gagasan dan teori-teori kekuatan laut atau ahli kemaritiman yang bernama Alfred Thayer Mahan, dan Van Leur juga ingin mengkaji lebih mendalam untuk dikaitkan dengan sejarah pendudukan Belanda di Indonesia.

c. Corak Penulisannya

Eropasentris / Nerlandosentris, yaitu bahwa dalam buku ini berisi tentang pandangan atau pemikiran seorang Belanda yaitu J.C Van Leur dalam menanggapi sejarah kumpeni Belanda di Indonesia adalah sebagai kekuatan maritim yang besar. Unsur subjektivitas dari sejarawan kolonial ini sangat jelas, hal tersebut dapat terlihat pada kutipan buku tersebut, salah satunya pada hal 20 “ Apakah dalam yang belakangan ini disebut “Musuh dalam negeri” dan bukankah aksi yang dilakukan oleh mereka sebelum tahun 1641 harus dianggap tujuan perang utama dari VOC? (menurut Verhoven, sejarawan Belanda yang berseberangan dengan pemikiran Van Leur). Menurut hemat saya (Van leur) bukan demikian halnya, daerah VOC pada tahun tersebut tidak terbatas pada Indonesia saja, tetapi mencakup wilayah Asia Tenggara; maka melihat itu kampanyae melawan Portugal tidak berhenti begitu saja dengan dikuasainya Malaka, tetapi baru dengan Sailan dan Goa. Keduanya; kekuasaan kerajaan timur dan aspek yang terus-menerus berganti dalam hubungan dengan kekuatannya itu. Bagi kumpeni Belanda merupakan hal yang benar-benar menentukan kebijaksanaannya. Menakhlukan timur raya dalam tahun-tahun 40 an dan kemudian menguasai Makasar itu untuk soal kekuasaan di Indonesia jauh lebih penting daripada Malaka dan Portugis”.

Politiksentris, yaitu bahwa dalam buku tersebut juga memaparkan atau dijelaskan tentang badan milik Belanda yang mempunyai wewenang kekuasaan di Indonesia, seperti pada kutipan hal 25 paragraf ke 2 “ Menurut hukum tatanegara Belanda kumpeni adalah Organisasi pemerintahan teritorial dan organisasi perang. VOC juga mengikuti lembaga tanah air kuno (Belanda). Termasuk juga harus mengikuti gaya atau tata cara Belanda”. Jadi VOC yang merupakan badan atau kongsi dagang milik pemerintah Belanda ingin menjalankan fungsi dan perannya sesuai dengan peraturan dan tata cara Belanda, sekalipun itu di Indonesia.

d. Isi Penulisan

Tulisan dari J.C Van Leur yang berjudul “Mahan Op den Indischen lessenaar” (Mahan di Meja Baca Hindia) ini adalah untuk ingin menunjukkan peranan kumpeni persatuan Hindia Timur (VOC atau juga dikenal sebagai kumpeni Belanda) sebagai kekuatan maritim yang besar. Karangan dari Van leur ini juga merupakan sanggahan terhadap karangan dari DR F.R.J Verhoven yang menguraikan dalam karangannya peranan kumpeni dalam masa permulaannya di Indonesia adalah sebagai alat perang yang bergerak di lautan. Karangan dari Van Leur ini memakai salah satu metode yang diterapkan oleh Alfred Thayer mahan seorang pemikir bangsa Eropa abad XV yang berhasil menyusun gagasan dan teori-teori tentang kekuatan laut (Sea Power), dimana Alfred Thayer Mahan membagi 5 unsur yang menentukan dapat tidaknya sebuah negara berkembang menjadi sebuah negara bahari, yaitu: letak geografi, bangun muka bumi, luas dan seting wilayah, budaya komunitas pesisir, dan faktor institusional. Van Leur menggunakan salah satu teori dari mahan untuk menyelidiki sejarah kumpeni di Indonesia yaitu teori kedudukan geografis. Dalam rangka memperluas daerah kekuasaan atau eksistensinya dalam menerapkan kolonialisme di Indonesia, Belanda perlu memperhatikan kondisi geografis dari Indonesia. Seperti kita ketahui Indonesia merupakan negara yang sangat luas wilayahnya terutama lautnya dan juga terdiri dari beribu-ribu pulau didalamnya, sehingga sering juga disebut sebagai negara kepulauan, jadi apabila Belanda ingin menguasai Indonesia dan tetap menjadi yang paling kuat, dan tidak ada negara lain yang menyainginya, maka kekuatan di lautan dan wawasan maritim Belanda harus kuat dan bagus. Selain dari penguasaan terhadap wilayah laut, pihak kumpeni Belanda juga harus menguasai jalur perniagaan atau perdagangan dimana, seperti yang kita ketahui Indonesia mempunyai pelabuhan Banten yang memiliki lokasi strategis di ujung barat pulau jawa serta berbatasan langsung dengan selat sunda, letak geografis telah menyebabkan pelabuhan tersebut banyak disinggahi kapal-kapal dagang pada zaman itu.

Termasuk pula Pelabuhan Sunda kelapa di Batavia, yang merupakan bandar dagang yang berada di teluk Jakarta saat ini, ramai dikunjungi kapal-kapal (junk) dagang dari mancanegara, seperti Timur Tengah, India, dan Cina. Komoditas yang ramai diperdagangkan antara lain: rempah-rempah, lada, beras, dan buah-buahan. Posisi geografis Pelabuhan Sunda Kelapa terbilang strategis, karena berada di perairan utara pulau Jawa yang merupakan jalur pelayaran dari daratan India menuju China.

Kegiatan perdagangan di Pelabuhan Sunda Kelapa telah mengundang keinginan bangsa Belanda untuk menguasai bandar tersebut. Hal ini terlihat dari pengerahan armada perang Belanda untuk menyerang Jayakarta. Setelah Belanda berhasil menguasainya kemudian Pelabuhan Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Batavia dibawah kendali Belanda melalui komunitas dagangnya yaitu Verenigde Oost-indische Compagnie (VOC).

Dengan strategi tersebut Belanda kemudian dapat memonopoli perdagangan di nusantara, dan dengan mudah dapat menerapkan kolonialismenya di Indonesia.

e. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan buku yang berjudul ”Mahan di Meja Baca Hindia” adalah ingin menjelaskan bagaimana sejarah kumpeni Belanda atau masa pendudukan Belanda di Indonesia. Bagaimana pada waktu itu keadaan Indonesia yang sangat strategis posisi geografisnya yang sangat ramai dilalui jalur perdagangan, maka kemudian menarik Belanda ke Indonesia. Di sini juga menjelaskan bagaimana cara menguasai Indonesia dengan mudah, yaitu dengan mempelajari kondisi laut, atau wawasan maritim Indonesia, serta memperkuat posisi Belanda di laut sehingga eksistensinya atau keberadaanya di Indonesia tetap kuat. Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana kondisi Indonesia, di mana jalur perdagangan Indonesia sangat ramai dan dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tujuan dari penulisan historiografi kolonial yaitu untuk melanggengkan imperialisme kekuasaan Kolonial di Indonesia. Akan tetapi dalam penulisan sejarah Indonesia, orang-orang Belanda lebih memusatkan perhatiannya ke penulisan orang-orang Eropa ( Belanda ) dengan tidak mengikut sertakan orang-orang Indonesia di dalam penulisan sejarah Indonesia sendiri karena orang-orang Indonesia hanya dijadikan sebagai figuran saja. Dan Ciri-ciri Historiografi Kolonial :

· Bersifat Eropasentris atau Neerlandosentris

· Berdasarkan pada fakta, lebih rasional, faktual dalam penulisannya

· Subyektifitas melekat pada sejarawan kolonial, mendeskripskan pada kejadian-kejadian yang dialami orang-orang Eropa di Indonesia.

· Orang Indonesia hanya sebagai figuran

· Tidak menggunakan geneologi

· Menerangkan pada peranan bangsa Belanda dan memberi aspek politis (kekuasaan)

· Mengandung subyektifitas, tapi ditulis secara akurat dan cermat.

DAFTAR PUSTAKA

Internet:

http://www.tnial.mil.id/majalah/cakrawala/artikel/cakarawala:

Di akses tanggal 10 maret 2009.

http://ramaversion.multiply.com/journal/item/4:

Di akses tanggal 11 Maret 2009

http://jowo.jw.lt/pustaka/buku/Sejarah/Kehidupan%20Awal%20Masyarakat%20Di%20Kepulauan%20Indonesia_txt.txt:

Di akses tanggal 11 Maret 2009

Buku:

De Graaf, H.J. 1971. Historiografi Hindia-Belanda. Jakarta: Bhratara

Leur, J. C Van. 1974. Mahan di Meja Baca Hindia. Jakarta: Bharata (terjemahan)

Leur, J. C Van. 1973. Beberapa Tjatatan tentang Penjelidkan Sedjarah Indonesia. -:Koloniale Studien (terjemahan)

Kemp, P. H. Van Der.1979. Pemberontakan Cirebon Tahun 1818. Jakarta: Yayasan Idayu (terjemahan)

LAMPIRAN

Alfred Thayer Mahan

P. H. VAN DER KEM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar